List Artikel
Krisis Kredit AS Ancam Industri Elektronik RI
Jakarta detikfinance -Meski tidak memiliki dampak terhadap perbankan di Indonesia, krisis kredit di AS (subprime mortgage) akan mempengaruhi ekspor Indonesia antara lain ekspor elektronik.
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, dari sisi perdagangan, dampak subprime sangat berbahaya.
Krisis itu akan mengurangi permintaan barang-barang dari AS ke negara lain, misalkan China dan Malaysia.
Sehingga apabila terjadi pengurangan permintaan ekspor dari AS akan berdampak pada pertumbuhan ekspor dan berlanjut pada tenaga kerja, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.
Sekarang ini kata Miranda, tanda-tanda itu mulai nyata karena AS telah menurunkan pertumbuhannya dari 2,2 persen menjadi 1,5 persen bahkan turun sampai 1,3 persen.
"Apakah dampaknya terhadap Indonesia, apabila AS mengurangi permintaannya terhadap China maka Indonesia akan kena, karena permintaan China terhadap barang input dari Indonesia turun," ujarnya.
Ia mencontohkan misalnya AS mengurangi permintaan elektronik ke Malaysia maka akan berdampak penurunan ekspor suku cadang elektronik dari Indonesia ke Malaysia.
"Pertumbuhan ekspor elektronik Malaysia diperkirakan akan turun dari 27% menjadi 14% pada tahun ini," katanya.
Namun ia mengatakan apabila AS mengalami kejatuhan ekonomi maka dari kacamata perdagangan langsung mungkin tidak akan terpengaruh.
"Kalau direct trade kita tidak melihat akan berdampak langsung bagi Indonesia, tapi kalau indirect trade hampir pasti kita akan kena," kata Miranda beralasan.
Menurutnya secara teoritis segala macam yang terjadi dalam perkembangan di dunia ini mempunyai dampak bagi Indonesia.
Terutama terkait kenaikan harga komoditi dunia, yang sekarang ini terus naik, akan terasa bagi negara-negara miskin.
"Hampir 95 persen pendapatan masyarakat Indonesia dipakai buat makanan dengan US$ 1.930 per kapita. Dampaknya akan berbeda dengan kenaikan komoditi pangan di negara seperti AS yang 15 persen dari pendapatannya dipakai untuk makanan," katanya.
Namun dampak subprime terhadap perbankan diakui Miranda masih minim, indikator-indikator perbankan menguatkan hal itu.
"Secara capital, Bank Indonesia tidak melihat bahwa dampak suprime mortgage menyebabkan bank-bank di Indonesia menjadi buruk kondisinya. Sampai sekarang NPL 4,8 persen, CAR 19,3 persen, pertumbuhan kredit 24 persen, NIM masih tinggi, dari sisi capital masih oke, tapi dari sisi trade channel itu berbahaya," ujarnya.
(hen/ddn)
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, dari sisi perdagangan, dampak subprime sangat berbahaya.
Krisis itu akan mengurangi permintaan barang-barang dari AS ke negara lain, misalkan China dan Malaysia.
Sehingga apabila terjadi pengurangan permintaan ekspor dari AS akan berdampak pada pertumbuhan ekspor dan berlanjut pada tenaga kerja, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.
Sekarang ini kata Miranda, tanda-tanda itu mulai nyata karena AS telah menurunkan pertumbuhannya dari 2,2 persen menjadi 1,5 persen bahkan turun sampai 1,3 persen.
"Apakah dampaknya terhadap Indonesia, apabila AS mengurangi permintaannya terhadap China maka Indonesia akan kena, karena permintaan China terhadap barang input dari Indonesia turun," ujarnya.
Ia mencontohkan misalnya AS mengurangi permintaan elektronik ke Malaysia maka akan berdampak penurunan ekspor suku cadang elektronik dari Indonesia ke Malaysia.
"Pertumbuhan ekspor elektronik Malaysia diperkirakan akan turun dari 27% menjadi 14% pada tahun ini," katanya.
Namun ia mengatakan apabila AS mengalami kejatuhan ekonomi maka dari kacamata perdagangan langsung mungkin tidak akan terpengaruh.
"Kalau direct trade kita tidak melihat akan berdampak langsung bagi Indonesia, tapi kalau indirect trade hampir pasti kita akan kena," kata Miranda beralasan.
Menurutnya secara teoritis segala macam yang terjadi dalam perkembangan di dunia ini mempunyai dampak bagi Indonesia.
Terutama terkait kenaikan harga komoditi dunia, yang sekarang ini terus naik, akan terasa bagi negara-negara miskin.
"Hampir 95 persen pendapatan masyarakat Indonesia dipakai buat makanan dengan US$ 1.930 per kapita. Dampaknya akan berbeda dengan kenaikan komoditi pangan di negara seperti AS yang 15 persen dari pendapatannya dipakai untuk makanan," katanya.
Namun dampak subprime terhadap perbankan diakui Miranda masih minim, indikator-indikator perbankan menguatkan hal itu.
"Secara capital, Bank Indonesia tidak melihat bahwa dampak suprime mortgage menyebabkan bank-bank di Indonesia menjadi buruk kondisinya. Sampai sekarang NPL 4,8 persen, CAR 19,3 persen, pertumbuhan kredit 24 persen, NIM masih tinggi, dari sisi capital masih oke, tapi dari sisi trade channel itu berbahaya," ujarnya.
(hen/ddn)
Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar